Breaking News

Mengapa Konflik Sudan tak Segera Didamaikan?


Konflik bersenjata antara Pasukan Dukungan Cepat atau RSF dan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) telah memasuki tahap yang paling destruktif pada tahun 2025. Pertempuran sengit melanda wilayah Darfur, Kordofan, hingga ibu kota Khartoum, memaksa jutaan warga sipil mengungsi.

RSF, yang dipimpin Mohamed Hamdan Dagalo atau Hemedti, menonjol sebagai pasukan paramiliter cepat dengan kendaraan lapis baja ringan. Mereka menguasai sebagian besar wilayah barat dan utara Sudan, termasuk kota strategis El Fasher, yang menjadi pusat pertahanan utama.

Sementara itu, SAF, di bawah komando Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, mengendalikan ibu kota Khartoum, Port Sudan, dan jalur transportasi utama di wilayah timur. Kontrol ini memungkinkan militer reguler mempertahankan instalasi strategis penting dan mempersiapkan operasi ofensif lebih lanjut.

Pertempuran di Darfur dan Kordofan Barat menimbulkan korban sipil yang sangat besar. Laporan menunjukkan ribuan tewas dan ratusan ribu mengungsi, dengan kelaparan menyebar di kamp-kamp pengungsi. Pusat medis pun hancur akibat serangan yang terus berlangsung.

Konflik ini telah menimbulkan lebih dari 150.000 korban jiwa, sebagian besar warga sipil. Korban militer RSF dan SAF diperkirakan signifikan, namun angka pastinya sulit diverifikasi karena akses yang terbatas dan wilayah yang terus berubah kontrolnya.

Khartoum menjadi saksi pertempuran sengit di pusat kota. SAF berhasil merebut kembali beberapa distrik strategis, tetapi RSF tetap menahan sebagian wilayah barat ibu kota. Pertempuran jalanan memaksa warga sipil bersembunyi di rumah-rumah dan sekolah.

Port Sudan, pelabuhan utama di Laut Merah, tetap berada di tangan SAF. Kontrol pelabuhan ini memungkinkan pemerintah mengimpor bantuan logistik dan memperkuat pertahanan wilayah timur. Meski begitu, RSF terus menekan jalur suplai melalui serangan di Kordofan.

RSF juga mengklaim menguasai wilayah perbatasan Sudan dengan Mesir dan Libya, membuka jalur suplai alternatif dan memperluas pengaruh di utara. Hal ini membuat koordinasi militer SAF semakin menantang, karena mereka harus menjaga banyak front sekaligus.

Di wilayah pedalaman, RSF memanfaatkan medan perbukitan dan gurun untuk menyerang konvoi militer SAF secara cepat. Taktik gerilya ini membuat mereka mampu mempertahankan posisi meski jumlah pasukan lebih sedikit dibanding SAF di front utama.

Sementara itu, SAF lebih unggul dalam persenjataan berat dan pertahanan kota. Mereka menahan serangan di distrik administratif dan pusat pemerintahan, memastikan kontrol atas jalur komunikasi utama dan instalasi vital negara.

Dinamika konflik ini membuat situasi kemanusiaan sangat buruk. Lebih dari 13 juta orang terpaksa meninggalkan rumah, sebagian besar di Darfur dan Kordofan. Kelaparan dan penyakit menyebar, sementara akses bantuan terbatas karena jalur aman sulit dijamin.

Para analis menilai intervensi internasional terbatas. Beberapa negara regional mendukung RSF atau SAF, sehingga upaya diplomasi global kerap buntu. Kondisi ini menciptakan semacam status quo yang membuat konflik tetap berkepanjangan.

Banyak pengamat membandingkan situasi Sudan dengan perang Ethiopia, yang mendapat perhatian global lebih besar. Sudan, meski memiliki krisis kemanusiaan parah, relatif kurang diliput media internasional dan kurang mendapat tekanan politik dari negara besar.

Salah satu penyebabnya adalah adanya kepentingan geopolitik yang bertentangan. Negara-negara Teluk, Mesir, dan Afrika berusaha menjaga pengaruh masing-masing dengan mendukung pihak berbeda. Hal ini membuat konflik sulit dihentikan karena setiap pihak masih menerima suplai dan dukungan eksternal.

RSF sendiri awalnya terbentuk dari milisi Janjaweed, yang dikenal dalam konflik Darfur. Transformasi menjadi pasukan paramiliter resmi membuat mereka memiliki legitimasi terbatas, tetapi tetap mampu melakukan operasi cepat dan efektif di wilayah barat Sudan.

SAF, meski sebagai tentara reguler, menghadapi tantangan internal terkait moral pasukan dan koordinasi. Konflik internal pasca-kudeta 2019 membuat beberapa wilayah sulit dikuasai sepenuhnya, sehingga pertempuran menjadi sengit dan tidak menentu.

Kota-kota besar sering menjadi medan pertempuran sengit, dengan RSF dan SAF saling berebut distrik strategis. Kondisi ini memaksa warga sipil menempuh perjalanan berbahaya untuk mengungsi ke daerah yang relatif aman.

Di beberapa wilayah, pertempuran antara RSF dan SAF juga berdampak pada ekonomi lokal. Pasar, sekolah, dan rumah sakit banyak yang hancur, sementara jalur transportasi dan perdagangan terganggu akibat blokade dan serangan sporadis.

Dampak politik konflik juga signifikan. Kedua pihak mempertahankan wilayah yang mereka kuasai sebagai simbol kekuatan. Dunia internasional, meski menyadari krisis, memilih jalan diplomasi terbatas sehingga status quo kekuasaan tetap bertahan.

Krisis kemanusiaan ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk negosiasi damai dan akses bantuan internasional. Tanpa intervensi efektif, warga sipil akan terus menanggung beban terbesar dari perang yang tidak menunjukkan tanda-tanda berakhir.

Konflik RSF-SAF di Sudan tahun 2025 menjadi peringatan keras bagi dunia internasional bahwa perang internal yang kompleks, dengan dukungan regional yang bertentangan, dapat menciptakan krisis kemanusiaan parah yang berlangsung bertahun-tahun.

Dibuat oleh AI

No comments